Pada minggu pertama kuliah Pendidikan Agama, saya mengundang mahasiswa-mahasiswi untuk melihat dinamika hidup beragama di Yogyakarta. Beberapa asal ambil foto tanda penunjuk ruang ibadah di kampus, SPBU, dan mal. Beberapa memotret tempat ibadat agama lain dari kejauhan, sebagian berani melongok ke ruangan dalam tempat ibadah lain. Lebih dari sekedar memenuhi tugas kuliah, banyak mahasiswa-mahasiswi menyempatkan diri berbincang-bincang dengan jemaah agama lain. Masjid Syuhada, gereja HKBP, dan gereja Katolik St. Antonius Kotabaru yang berdampingan menjadi salah satu ikon keberagaman agama di Yogyakarta.
Seorang mahasiswa Hindu ambil foto sebuah pura dengan latar belakang masjid. Dari percakapan dengan warga sekitar, kedua komunitas beriman mengelola waktu ibadah sebagai wujud penghormatan terhadap agama lain. Komunitas-komunitas beriman lain yang hidup bersama komunitas beriman Hindu dan Muslim memberikan penghormatan serupa kepada keduanya. Vihara Praba Gondomanan merelakan sebuah ruangan untuk ibadah para pemeluk Kong Hu Cu sebelum pemerinta mengesahkannya sebagai agama resmi di Indonesia.
Seorang mahasiswi Kristen memotret dua orang siswi yang berjalan berdampingan sambil berpegangan tangan menyusuri jalan Malioboro. Seorang beretnis Jawa dan mengenakan jilbab, sementara yang lain beretnis Tionghoa dan mengenakan kalung salib. Perbedaan-perbedaan itu bukan penghalang bagi keduanya bersahabat. Pemandangan ini kontras dengan sikap paranoid Majelis Ulama Indonesia yang mengeluarkan fatwa tentang bahaya pluralisme agama. Ia menarik garis pemisah pluralitas dalam arti sosiologis dari pluralitas dalam arti teologis. Ia sekaligus mengacungkan telunjuk tuduhan terhadap gerakan lintas iman yang menurutnya mengorbankan akidah atas nama dialog antaragama.
Yogyakarta, yang karakternya pluralis, potensial sebagai inspirasi dihadapan merebaknya kasus-kasus intoleransi di Indonesia. Ormas-ormas antipluralitas ibarat ilalang yang parasit terhadap Indonesia. Menegakkan, tepatnya mengeksploitasi SKB tiga kementerian dan peraturan daerah, mereka keras terhadap praktek-praktek ibadat agama lain yang di matanya menyimpang. Segar dalam ingatan kita berlarut-larutnya penyelesaikan kasus-kasus penutupan paksa gereja, perusakan situs relijius-budaya, penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik dan Syiah di Sampang. Menyurut rasa aman minoritas-minoritas relijius dalam menjalankan ibadah ketika aparat keamanan negara impoten dalam menertibkan gerombolan-gerombolan antipluralitas.
Menyeragamkan Keberagaman?
Tantangan bagi masyarakat Yogyakarta adalah melanjutkan kisahnya merengkuh pluralitas, dan membagikan kisahnya sebagai inspirasi bagi Indonesia. Keberagaman bukan proyek raksasa yang kita dapat mengebut penyelesaiannya dalam semalam suntuk. Yogyakarta menjadi kawah inisiasi bagi komunitas-komunitas agama yang melintasi budaya-budaya lain (transcultural religions) untuk belajar hidup bersama yang lain. Keengganan, apalagi penolakan untuk menerima yang lain menyulitkan, bahkan memustahilkannya memasuki Yogyakarta. Kisah dua tangan siswi berlatar belakang budaya dan agama berbeda yang bergandengan tangan menyusuri Malioboro menghantar kita pada kisah-kisah dialog antaragama di Yogyakarta. Dalam relief-relief candi, kita menangkap dialog antara Hindu dan Buddha. Dalam arsitektur tempat-tempat ibadah, kita melihat jejak-jejak ekumene relijius antara Hindu dan Islam, Buddha dan Kong Hu Chu, Katolik dan Hindu, Kristen dan Buddha, dan sebagainya.
Ketika tempat-tempat ibadah yang lokasinya berdampingan memiliki jadual berdekatan, ibadah sebuah komunitas beriman bukan suara parau, apalagi polusi bagi yang lain. Intoleransi terjadi ketika massa yang mengatasnamakan diri pembela agama tertentu menutup paksa akses ke arah, bahkan ibadah, agama lain. Bahkan, mereka menggelar ibadat tandingan dengan pengeras suara yang memekakkan telinga jemaah lain. Mereka menghasut warga di sekitar lokasi untuk mencabut dukungannya atas pembangunan tempat ibadat agama lain. Berdalih jemaah agama lain mengabaikan pendekatan persuasif, mereka menyerang tempat ibadah, bahkan jemaatnya. Ketika eksploitasi simbol-simbol relijius justru menuai antipati, para pelaku menyalahgunakan simbol-simbol kebangsaan, seperti baju putih dan ikat kepala merah.
Indonesia, di mata penyembah ideologi antipluralitas, ruang hidup ekslusif agamanya. Mereka memandang agamanya secara takabur sebagai solusi tunggal terhadap persoalan-persoalan bangsa Indonesia. Kampanye hitam terhadap kandidat politik yang berkeyakinan lain dan desakan mundur terhadap pejabat pemerintahan yang berasal minoritas relijius dan mengepalai wilayah yang mayoritas warganya menganut agama tertentu, merupakan kepanjangan ideologi ini dalam ranah politik. Tindakan-tindakan semacam ini, dalam refleksi presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penerima World Statesmanship Award 2013 untuk kebebasan beragama, mengancam keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Bervisi satu dalam kebhinnekaan, masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan, perlu hidup bersama secara harmonis.
Kita jauh dari abai dalam memandang perdamaian antaragama di Indonesia sebagai kerja bakti bersama (collective work). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lemah dalam menampilkan diri sebagai ikon pluralitas. Ia belum menunjukkan keunggulan sebagai negarawan yang bekerja keras, memiliki keberanian, dan mengambil keputusan secara berwibawa dihadapan kasus-kasus intoleransi agama. Dalam pidato 10 Mei 2012, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang Jumeneng Nata Mataram, memandang Kraton Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman sebagai “loro-loroning atunggal.” Di tengah kelangkaan keteladanan ini, Yogyakarta hendaknya “ngesuhi Nuswantoro, nyengkuyung jejeging negara” sebagai ikon pluralitas. Sri Sultan Hamengkubuwono X berkewajiban menjamin damai antaragama dengan “paugeran lan tata keprajan.” Sebagaimana dua siswi bergandengan tangan menyusuri jalan Malioboro, harapannya masyarakat Yogyakarta unggul dalam menghidupi kebijaksanaan “loro-loroning atunggal.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar