Ini kisah tentang seorang Ibu atau tepatnya seorang Nenek renta, yang tanpa sengaja ku melihatnya dari tempatku berada di lantai 3 ruanganku. Saat itu aku sedang instal laptop eks murid dan karena ingin kerja dengan view depan sekolah, aku letakkan meja dan kursi tepat di samping jendela dimana aku bisa melihat keluar. Tak sengaja, terlihat seorang nenek dengan menggendong sesuatu di punggungnya (sepertinya berupa panci dan beberapa botol dan sepertinya berjualan bubur). Berjalan pelan dan sangat pelan keluar dari pekarangan depan gerbang sekolah menggunakan sebuah tongkat. Pelan menanggung beban di punggungnya dan mungkin menanggung beban hati.
Entah mengapa, aku terpaku. Diam. Benar-benar tanpa kata, sampai teringat aku harus bisa mengambil gambarnya. Tak mungkin kumenggunakan kamera hp-ku yang sangat sederhana. Teringat, kamera sekolah masih ada di meja. Kulari dan kupasang batre yang aku isi kemudian kembali ke jendela. Ternyata nenek itu sudah menyusur tepi jalan tapi masih dekat gerbang rumah itu (terasa sekali sangat pelan jalannya). Sayang, hasil terbaik adalah saat dia sudah melewati batas pandangku ke mukanya. Terlihat hanya punggungnya yang mencoba kuat menanggung beban.
Sampai ada karyawan sekolah yang bertanya, sedang apakah aku ? Kutanyakan, siapa nenek itu. Namanya Mbah Jumilah, rumahnya sekitar Sagan atau mana. Dia memiliki beberapa anak yang (kabarnya) sama sekali tidak mau tau keadaan Ibunya. Dan nenek itu pun tidak menuntut apa pun. Dia masih merasa kuat mencari uang sekedar untuk makan. (Kini nenek itu tak pernah lagi terlihat melintas di depan sekolah, apa pun yang dialami semoga nenek itu mendapat tempat yang layak di mana pun)
Cerita ini mengingatkanku saat masa SMP. Dimana ada seorang teman (tadinya kakak kelas tapi akhirnya jadi satu kelas) yang selalu modis, wangi dan tak pernah ketinggalan mode (saat itu di kotaku yang pasti belum ngetrend Internet apalagi HP dan FaceBook). Sampai suatu saat, ada seorang nenek, hitam kulitnya membawa gendongan yang mirip nenek tadi. Berupa panci ukuran besar dan beberapa botol termasuk gulungan daun pisang. Ternyata, dia langganan ibu di pasar sebelah rumah. Berhubung belum habis buburnya, dia jajakan dagangannya kemana pun kaki melangkah (kalau biasanya dia akan menuju ke rumah pelanggannya termasuk ibuku). Setelah selesai melayani pesanan ibu (dan tentunya aku yang suka bubur candil), nenek itu pun beranjak pergi ke arah timur yang ternyata arah dia pulang.
Lalu Ibuku pun berujar :"Kalau tidak salah, anak mbok bubur itu satu sekolah sama kamu". "Masa ? Siapa anaknya ?", tanyaku. "Kalau tidak salah A*** siapa gitu. Anaknya item..bla..bla...bla...rumahnya jalan samping pasar ujung utara dekat rel belakang sebuah koperasi". "Ha ?!!!" Sungguh suatu kejutan. Temanku yang selalu modis ternyata memiliki Ibu seorang penjual bubur yang bekerja dari subuh sampai sore, sedangkan anaknya selalu minta dicukupi kebutuhannya dengan cara-cara tidak layak termasuk membentak dan mengancam ibunya.
Entah mengapa, kisah seorang ibu yang disia-siakan atau bahkan dihinakan oleh anaknya sungguh sangat membuat tersentuh buatku. Seumur hidup anak, takkan mampu membalas sehari kasih seorang ibu.
Ingatkah syair lagu Ibu yang dinyanyikan Iwan Fals ?
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....
3 tahun lalu kisah ini ku tulis, dan hampir 2 tahun sosok salah satu malaikatku meninggalkan dunia fana ini...Jadi ingin segera pulang, untuk segera berdo'a di pusara Ibuku....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar