16 JUNI 2014 PUKUL 10.00 WIB PERESMIAN SENDANGSONO SETELAH RENOVASI

Rabu, 25 September 2013

DUA TANGAN SATU JALAN

sumber  : Patrisius Mutiara Andalas,SJ

Pada minggu pertama kuliah Pendidikan Agama, saya mengundang mahasiswa-mahasiswi untuk melihat dinamika hidup beragama di Yogyakarta. Beberapa asal ambil foto tanda penunjuk ruang ibadah di kampus, SPBU, dan mal. Beberapa memotret tempat ibadat agama lain dari kejauhan, sebagian berani melongok ke ruangan dalam tempat ibadah lain untuk ambil foto. Lebih dari sekedar memenuhi tugas kuliah, banyak mahasiswa-mahasiswi menyempatkan diri berbincang-bincang dengan pemeluk agama lain. Masjid Syuhada, gereja HKBP, dan gereja Katolik St. Antonius Kotabaru yang berdampingan menjadi salah satu ikon keberagaman agama di Yogyakarta. 

Seorang mahasiswa Hindu ambil foto sebuah pura dengan latar belakang masjid. Dari percakapan dengan warga sekitar, kedua komunitas beriman mengelola waktu ibadah sebagai wujud penghormatan terhadap agama lain. Komunitas-komunitas beriman lain yang hidup bersama komunitas beriman Hindu dan Muslim memberikan penghormatan serupa kepada keduanya. Vihara Praba Gondomanan merelakan sebuah ruangan untuk ibadah para pemeluk Kong Hu Cu sebelum pemerinta mengesahkannya sebagai agama resmi di Indonesia.
Seorang mahasiswi Kristen memotret dua orang siswi yang berjalan berdampingan sambil berpegangan tangan menyusuri jalan Malioboro. Seorang beretnis Jawa dan mengenakan jilbab, sementara yang lain beretnis Tionghoa dan mengenakan kalung salib. Perbedaan-perbedaan itu bukan penghalang bagi keduanya bersahabat. Pemandangan ini kontras dengan sikap paranoid Majelis Ulama Indonesia yang mengeluarkan fatwa tentang bahaya pluralisme agama. Ia menarik garis pemisah pluralitas dalam arti sosiologis dari pluralitas dalam arti teologis. Ia sekaligus mengacungkan telunjuk tuduhan terhadap gerakan lintas iman yang menurutnya mengorbankan akidah atas nama dialog antaragama.
Yogyakarta, yang karakternya pluralis, potensial sebagai inspirasi bagi kehidupan bersama antarkomunitas beriman dihadapan merebaknya kasus-kasus intoleransi di Indonesia. Ormas-ormas antipluralitas ibarat ilalang yang parasit terhadap Indonesia. Menegakkan, tepatnya mengeksploitasi SKB tiga kementerian dan peraturan daerah, mereka menghukum dengan kekerasan praktek-praktek ibadat agama lain yang di matanya menyimpang. Segar dalam ingatan kita berlarut-larutnya penyelesaikan kasus-kasus penutupan paksa gereja, perusakan situs relijius-budaya, penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik dan Syiah di Sampang. Menyurut rasa aman minoritas-minoritas relijius dalam menjalankan ibadah ketika aparat keamanan negara impoten kuasanya dalam menertibkan gerombolan-gerombolan antipluralitas.

Menyeragamkan Keberagaman?
Tantangan bagi masyarakat Yogyakarta adalah melanjutkan kisahnya merengkuh pluralitas, dan membagikan kisahnya sebagai inspirasi bagi Indonesia. Masyarakat Yogyakarta memandang keberagaman bukan sebagai proyek raksasa yang penyelesaiannya dikebut dalam semalam. Yogyakarta menjadi kawah inisiasi bagi komunitas-komunitas agama yang melintasi budaya-budaya lain (transcultural religions) untuk belajar hidup bersama yang lain. Keengganan, apalagi penolakan untuk menerima yang lain menyulitkan, bahkan mustahilkannya memasuki Yogyakarta. Kisah dua tangan siswi berlatar belakang budaya dan agama berbeda yang bergandengan tangan menyusuri Malioboro menghantar kita pada kisah-kisah dialog antaragama di Yogyakarta. Dalam relief-relief candi, kita menangkap dialog antara Hindu dan Buddha. Dalam arsitektur tempat-tempat ibadah yang lebih kontemporer, kita juga melihat jejak-jejak dialog antara Hindu dan Islam, Buddha dan Kong Hu Chu, Katolik dan Hindu, Kristen dan Buddha, dan sebagainya.
Bahkan, ketika jadual ibadat berdekatandi tempat-tempat ibadah yang berdiri berdampingan, ibadat sebuah komunitas beriman bukan suara parau, apalagi polusi bagi yang beragama lain. Intoleransi terjadi ketika massa yang mengatasnamakan diri sebagai pembela agama tertentu menutup paksa akses ke arah, bahkan ibadat, agama lain. Mereka menyelenggarakan ibadat tandingan di dekat jemaat lain yang menjalankan ibadat dengan pengeras suara yang memekakkan telinga. Mereka menghasut warga di sekitar lokasi tempat ibadat milik jemaat agama lain untuk mencabut suara dukungannya atas pendirian tempat ibadat itu. Berdalih jemaat lain mengabaikan pendekatan persuasif, mereka menyerang tempat ibadah, bahkan jemaat yang beribadah. Ketika eksploitasi simbol-simbol relijius justru menuai antipati, para pelaku menyelubungi perilaku intolerannya dengan simbol-simbol kebangsaan, seperti baju putih dan ikat kepala merah.

bagian tulisan "Dua Tangan, Satu Jalan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar