Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas.Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.
Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang
menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula yang
membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.Saya membayangkan
rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal
tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan
di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan
mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan
bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.Namun
malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya
melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja.
Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu
mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.Melihat
tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya
bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja
itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan
yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan
itu meninggalkan sampah bekas makanan.Sungguh pemandangan yang menjijikan.
Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang
bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong
meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa
anak-anak.Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang
berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan
sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa
makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang
pelayan sekalipun.Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang
sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta
anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga
pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan
teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah keluar
negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan
membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga
kerja mahal.Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita.
Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa
menit.Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya
akan besar sekali bagi para pelayan restoran.Saya pernah membaca sebuah buku
tentang perbuatan kecil yang punya arti besar.
Termasuk kisah seorang bapak
yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di
kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan
anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang
sampah di situ.Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak
sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan
sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan,
umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan.
Keteladanan kecil yang berdampak besar.
Saya juga pernah membaca
cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada
paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar
biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum
pada orang lain yang dijumpainya.Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas
kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.
Terilhami oleh sebuah cerita
di sebuah buku "Chicken Soup", saya kerap membayar karcis tol bagi
mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di
buku itu, orang di belakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan
yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat
dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui
hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.Bayangkan jika
Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu
akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan
menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.
Anak saya yang di SD selalu
mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata "terima kasih" saat
petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata
"terima kasih" merupakan "magic words" yang akan membuat
orang lain senang. Begitu juga kata "tolong" ketika kita meminta
bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.Dulu saya sering marah
jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya
menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya
harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk
mengejar setoran. "Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?'' Nasihat
itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak
saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera
teringat nasihat istri tersebut.Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita
jika kita dapat membuat orang lain bahagia.
Alangkah menyenangkannya
jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita
menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah
meringankan pekerjaan pelayan restoran.Begitu juga dengan tidak membuang karcis
tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas
kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah
menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena
permen karet.Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa
banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika
membukapintu, menahannya sebentar dan menoleh ke belakang untuk berjaga-jaga
apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang
membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di belakangnya
terbentur oleh pintu tersebut.Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita
lakukan. Hal yang tidak memberat-kan kita tetapi besar artinya bagi orang lain.
Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah
sekarang juga.
By: Andy F Noya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar