Pertengkaran demi pertengkaran akrab mewarnai rumah tanggaku. Enam tahun pertama aku dan suamiku saling meneriaki satu sama lain, namun di tahun ketujuh, kami memilih untuk saling mendiamkan. Kini hampir 1 tahun aku dan suamiku tidak bertegur sapa. Sebuah rumah tangga yang sebenarnya sudah lama terasa mati. Demi anak-anakku,
pernah dua kali aku mencoba untuk mengajak suamiku berbicara, namun usahaku sia-sia saja. Ia yang kuajak bicara segera beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkanku. Sejak itu, aku tidak tahu lagi harus kuapakan pernikahanku. Diteruskan? Tidaklah mungkin bisa meneruskan dengan pasangan yang tak lagi mau berusaha menjadi suami bagi istrinya. Disudahi? Aku masih menunggu agar ia mengatakan hal itu jika ia ingin berpisah dariku.....Suatu hari, aku sedang berada di dapur untuk memasak telur dadar dan tanpa sengaja aku mendengar komentar anak sulungku yang sedang menonton televisi bersama ayahnya.
“Film-film ini bohongan ya, Pa.” Kata si sulung yang berusia tujuh tahun.
“Hmm? Apanya yang bohongan?” Tanya suamiku setengah tak peduli dengan komentar si sulung karena ia sedang asyik membaca korannya.
“Iya… Di film-film, papa-mama anak-anak itu bisa berbicara normal seperti biasa, malah bisa ketawa-ketawa bersama. Mereka itu bohongan ya, Pa? Mana ada keluarga yang bisa ketawa-ketawa begitu. Kita aja nggak ketawa-ketawa kayak gitu. Apa lagi lihat tuh, Pa… Papanya di film itu bisa sayang sama mamanya.” Kata anakku polos seraya menunjukkan adegan film yang sedang berlangsung saat itu. Aku tak tahu persis bagaimana raut suamiku saat itu karena aku hanya mendengar dari dapur, tapi tanpa kusadari airmataku telah jatuh di pipiku. Keluarga mana yang sebenarnya keluarga bohongan? Keluargaku atau keluarga di film itu? Tanyaku dalam hati. Tak pernah aku membayangkan bahwa pernikahanku akan menjadi kacau seperti ini.
“Tapi keluarga tante Micha dan om Fredi, mereka juga suka bercanda kok… Aku jadi bingung, kenapa kok papa-mama diam-diaman. Mana sih yang bener?” Sekali lagi kudengar komentar Deki, anak tertuaku dengan suara polosnya yang jujur. Oh! Anakku. Ada dua orang dewasa berselisih paham yang tidak bisa saling berbicara, itu tentulah membingungkan.
“Kau tahu, aku tidak suka kaubantah saat aku bicara. Tetapi kau selalu membantah perkataanku. Aku tidak suka itu.” Kata suamiku suatu hari. Setelah hampir satu tahun tidak bertegur sapa, tentu saja mendengarkan ia tiba-tiba berbicara padaku membuatku terkejut. Dari tahun-tahun terdahulu aku tahu benar bahwa ego suamiku sangat besar. Prinsip bahwa laki-laki harus menang dan perempuan harus menurut dipegangnya teguh. Di tahun-tahun terdahulu aku bersikeras untuk menghancurkan prinsip sintingnya itu. Tapi hari ini, aku harus berhati-hati memilih. Jika aku mau mempertahankan pernikahanku maka aku harus membiarkan saja suamiku dengan egonya dan memberikan diriku menjadi seorang istri penurut yang tak boleh membantah sama sekali. Dan jika aku mau menyudahi pernikahan ini, mungkin inilah saatnya untuk menuntut perceraian.
“Jujur, aku senang kau mau menegurku. Soal membantah atau menurut, aku mau berusaha tidak membantahmu jika memang itu penting bagimu... Tapi bolehkah aku bertanya padamu? Apakah kau masih mau mempertahankan pernikahan kita?” tanyaku pelan dan tak berani berharap banyak.
“Anakku sedang kebingungan melihat dua orang dewasa yang tidak bicara dan aku masih memikirkan tentang diriku yang tidak suka dibantah.” Kata suamiku dengan nada yang kini terdengar bingung.
“Aku bisa mencoba untuk tidak membantahmu, jika memang kau masih menginginkan pernikahan kita… Tapi kalau kau sudah tidak menginginkannya sama sekali, maka apapun yang kulakukan tidak akan bisa memperbaiki keadaan.” Sahutku dengan nada pasrah. Aku pribadi masih ingin mempertahankan pernikahan beku ini walaupun itu artinya aku harus belajar untuk meredam bantahan-bantahanku saat suamiku sedang tidak terlalu bijaksana, tentu keputusan itu akan terdengar sangat bodoh. Suamiku masih terlihat diam.
“Kupikir, hari ini kau menegurku karena kau tidak ingin melihat anakmu bingung karena orangtuanya saling diam-diaman. Jika demikian, marilah kita saling berbicara demi anak-anak.” Kataku tak berani memaksanya untuk membahas tentang pernikahan kami.
“Jika berbicara hanya demi anak-anak, maka kita tetap akan menjadi keluarga bohongan seperti kata Deki… Kita harus berbicara demi keluarga kita.” Kata suamiku berat.
“Bagaimana kita melakukannya?” tanyaku pelan.
“Entahlah! Aku belum tahu caranya. Tetapi kita tidak boleh saling diam-diaman lagi. Ayolah sekarang kita makan.” ajak suamiku kemudian. Sambungnya, "Sebenarnya aku tidak terlalu lapar, namun aku tak ingin melewatkan sebuah kesempatan untuk membenahi pernikahanku. "
~~~~~~~~~~~~
Sudahkah kita membangun komunikasi yang baik dalam keluarga?
Suami dengan Istri, Orang tua bersama putra/i, dan anak dengan Saudara/i?
Terlebih, sudahkah kita mengajak Tuhan selalu ada diantara keluarga kita dengan komunikasi melalui doa & menjaga tindakan kita setiap saat?
Semoga cerita diatas memberi inspirasi bagi kebahagiaan setiap rumah tangga, khususnya yang tengah mengalami gejolak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar